Pagi bening itu menyelimuti jiwa gue. Saat gue bengun dari tempat tidur dan menatap jendela yang penuh dengan embun pagi yang bening itu. Sungguh pemandangan indah. Namun tiba-tiba, guedengar teriakan dari bawah. “Suami macam apa kau! Pulang baru pagi ini!” teriak Bunda gue. “Ya Tuhan, sungguh kejadian ini merusak pagi indah gue” seraya gue dengan wajah cemberut. Sudah sejak beberapa tahun silang kejadian ini terus berulang-ulang. Gue sungguh udah tak tahan dengan semua ini. Kemudian, gue beranjak ke kamar mandi lalu memakai seragam putih biru dan bersiap ke sekolah.
            Sesampai di sekolah, gue disapa oleh sahabat yang selalu setia mendengarkan curhat gue yaitu Bidi. “Hay Salsa!” sapa Bidi dengan melambaikan tangannya. Yah, Salsa. Begitulah gue disapa oleh teman-teman gue. Gue pun pergi ke kelas bersama Bidi. Tak lama, bel bertanda masuk itu pun terdengar. Saat pelajaran dimulai, tiba-tiba titisan darah merah menetes di buku gue. Saat melihat titisan itu, gue gak heran, karena titisan itu sudah biasa menetes dari hidung gue. Gue rasa hanya karena panas biasa. Jadi, titisan itu gue abaikan saja dan melanjutkan pelajaran.
            Saat waktunya istiirahat, gue pergi ke kantin bersama Bidi. Lalu, kami duduk, memesan makanan, lalu menunggu pesanan datang. Saat pesanan kami sudah datang, tiba-tiba gue merasa pusing, titisan merah itupun kembali menetes. Bidi yang melihat gue seraya terkejut dan bertanya pada gue “Salsa, kenapa ada darah di hidungmu?” tanya Bidi dengan heran. Karena sudah sangat pusing, gue gak bisa berkata sepatah kata pun. Pengelihatan gue mulai buram dan semakin gelap. Saat itu, gue terjatuh pingsan. Bidi kemudian membawa gue ke Rumah Sakit dengan bantuan dari guru. Ketika itu, Bidi langsung menghubungi orangtua gue dan memberitahu apa yang terjadi pada gue.
            Tanpa gue sadari, waktu berjalan lebih cepat. Gue sadar saat berada di Rumah Sakit. Gue melihat Bunda dan Ayah gue yang duduk disamping gue dengan mata lembab seperti telah menangis. Gue lalu memegang tangannya dan menatap ke arahnya. Bunda lalu menatap gue dengan penuh harapan dan kasih saying. Entah mengapa Bunda terasa berbeda dari hari-hari sebelumnya. Ayah yang dulu tak pernah memperhatikan gue kini memeluk gue dengan tangisan bagai hujan yang mengguyur deras. Gue sangat heran dengan sikap Ayah dan Bunda terhadap gue. Gue kemudian bertanya pada Bunda. “Bunda, kenapa Bunda menangis? apa karena aku? aku tak apa-apa Bunda!” tanya gue dengan lemas. “Tak apa sayang!”. Jawab Bunda singkat dengan senyuman.
            Lalu, Bunda keluar bersama Ayah. Tak lama, gue mendengar Bunda menangis. Saat itu, kepala gue tiba-tiba sangat pusing. Pengelihatan gue mulai buram, gelap lalu yang gue lihat hanya hitam pekat. Tanpa gue rasa, gue pingsan. Sebelum itu, gue mendengar sedikit pembicaraan Bunda dan Ayah. Gue dengar bahwa Bunda gak sanggup jika kehilangan gue. Juga pada saat itu, gue tahu bahwa gue terserang virus yang menyebabkan gue divonis kanker otak. Ternyata, penyebab dari titisan merah dan kepala pusing yang selalu muncul itu adalah kanker otak.
            Beberapa jam kemudian, gue pun sadar dengan kondisi yang memungkinkan. Gue lihat Bunda dan Ayah berpelukan dengan dipenuhi isak tangis deras. Baru pada saat ini setelah puluhan tahun lalu gue melihat Bunda dan Ayah akrab seperti ini. Kemudian, gue berlari ke arah mereka dan memeluknya. Entah mengapa, gue gak bisa memeluk mereka. Bahkan gue gak bisa menyentuhnya. Gue tengok di dalam kamar. Gue lihat gue terbaring lemah dengan wajah pucat disana. “Ya Tuhan, gue masih ingin bertemu, memeluk, dan melihat orang tua gue bersama lagi.”